Diijinkannya penggunaan senjata api oleh Menteri Dalam Negeri untuk menjadi bagian dari perlengkapan Satpol PP di dalam menjalankan tugasnya, meski kebijakan tersebut kemudian dibekukan oleh Menkopolhukkam, memperlihatkan bahwa pemerintah memang masih alergi pada pendekatan persuasif. Kekerasan dianggap sebagai sebuah hal yang tidak mungkin diubah, karena itu persiapan menghadapi kekerasan harus dilakukan.
Tragedi Koja sesungguhnya belum tuntas dukanya. Waktu itu, ribuan Satpol PP meluruk, menghantam massa yang mencoba mempertahankan makam Mbah Priok, yang sudah sejak lama dianggap keramat, meski menurut pengakuan pemerintah makam tersebut telah kosong.
Investigasi PMI yang dipercayakan untuk melakukan penelusuran memang hanya berdampak pada pergantian Kepala Satpol PP. Namun akar persoalannya, yaitu kebijakan kekerasan memang belum tersentuh.
Sayangnya, alih-alih mencoba menelusuri akar persoalan dan mencoba mencari solusi yang tepat, pemerintah malah menyetujui perlengkapan senjata pada Satpol PP. Memang senjata yang akan diberikan “hanyalah” yang berisi peluru hampa, peluru karet dan senjata kejut. Namun tetap saja hal itu dapat digunakan untuk menciptakan ketakutan pada masyarakat seperti selama ini biasa dilakukan oleh Satpol PP ketika menjalankan tugasnya.
Pemerintah berdalih bahwa pemberian senjata ini akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Pemiliknya adalah para pemimpin regu dan mereka yang sebelumnya telah diperiksa kesehatan kejiwaannya. Sayangnya pemerintah lupa bahwa yang namanya aksi brutalisme tidak mengenal waktu. Setiap kali ada kesempatan maka letupan pemicunya hanya soal waktu. Kekerasan tidak terencanakan. Namun ketika kekerasan memiliki kesempatan terjadinya, senjata yang diberikan kepada pemegangnya bisa menjadi alat kekerasan.
Salah satu persoalan yang belum diselesaikan oleh pemerintah adalah pada mengubah kultur Satpol PP. Selama ini mereka bekerja mengamankan kebijakan pemerintah dengan cara-cara yang lebih banyak bersifat kekerasan daripada pendekatan budaya dan atau persuasif. Mereka kelihatannya diandalkan untuk melakukan penekanan dan pengambilalihan dengan cara paksa.
Karena itu tidak heran kalau “kurikulum” semi militer pun diberikan pada mereka. Dalam peristiwa di Koja, jatuhnya korban yang banyak terjadi karena Satpol PP melakukan kekerasan pada masyarakat. Masyarakat yang merasa tidak menerima tindakan tersebut spontan melakukan aksi balasan kekerasan yang jangan-jangan juga mereka dapatkan dari apa yang mereka lihat dan saksikan ketika para anggota Satpol PP bekerja.
Kerap kita saksikan anggota Satpol PP ini bekerja tanpa tedeng aling-aling. Tak tanggung-tanggung, perempuan dan orang yang berusia tua mereka seret. Mereka juga tak peduli pada teriakan kesedihan mereka yang rumahnya digusur, misalnya. Barang-barang mereka buangi, angkuti, atau rumah bergembok mereka bongkar. Semuanya atas nama kebijakan yang mereka katakan adalah perintah atasan, meski yang namanya perintah itu sering sekali masih jauh dari kepastian.
Di tengah tindakan pembekuan kebijakan tersebut, maka pemerintah seharusnya melakukan perenungan ulang di dalam rangka mengambil tindakan yang dianggap penting dan perlu untuk menata kembali Satpol PP. Solusi bagi kekerasan yang mengancam para petugas Satpol PP bukan dengan menyediakan sarana kekerasan pada mereka, melainkan mengubah kebijakan pemerintah di perkotaan yang sering tidak manusiawi. Satpol PP bukan tameng kebijakan yang tidak adil, dan juga bukan tameng untuk menghadapi masyarakat. Pemerintah seharusnya berhenti membangun kekerasan dengan mengadu domba elemen masyarakat yang hanya tahu melakukan sesuatu yang tidak mereka pahami tujuannya. (***)
sumber:
sinar indonesia baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar